Kenapa Kita Melakukan Selfie? Raih Manfaatnya Hindari Risikonya

Minggu, 13 Januari 2019
Kenapa Kita Melakukan Selfie? Raih Manfaatnya Hindari Risikonya
 maxresdefault.jpg
 
Kebetulan libur panjang saat ini saya tidak keluar kota. Saya hanya mengunjungi beberapa mall untuk makan bareng dengan keluarga. Ada satu hal yang menarik dalam observasi saya selama mengunjungi beberapa mall tersebut adalah selalu ada saja pengunjung yang melakukan selfie, bisa secara sendiri2 maupun dalam kelompok. Gaya saat berselfie tersebut ternyata macam-macam dengan mimik wajah yang juga dibuat macam-macam,  ada yang dilakukan sendiri2 ada yang dilakukan secara berkelompok. Biasanya memang selfie dilakukan dengan riang gembira. Secara psikologi, tersenyum dan tertawa bisa mengurangi tekanan jiwa yang terjadi.  Selain itu selfie juga meningkatkan kepercayaan diri. Disisi lain kalau saya amati berbagai media sosial sebagian besar orang juga  melaporkan aktifitas selfienya dari tempat-tempat wisata lainnya. Karena dalam liburan panjang kali ini sebagian besar masyarakat  banyak menghabiskan waktu untuk bersantai dan tentunya dengan berselfie ria.
 
Selfie atau mengambil foto diri secara mandiri dan membagikan melalui media sosial sudah merupakan budaya masyarakat zaman “now”, tujuannya macam-macam dan dianggap sebagai upaya pengembangan psikososial. Kegiatan selfie sudah mendunia dalam 5 tahun terakhir ini dan semakin meningkat drastis dalam 2 tahun terakhir. Semakin banyak pelakunya semakin banyak laporan kecelakaan yang berhubungan dengan pengambilan selfie tersebut.
Menurut peneliti dari Nottingham Trent University ada 6 motivasi kenapa seseorang melakukan selfie, yaitu meningkatkan kepercayaan diri dan menjadi berbahagia setelah melakukan selfie, mencari perhatian,meningkatkan mood, berhubungan dengan lingkungan sekitar, meningkatkan adaptasi mereka dengan kelompok sosial di sekitar mereka serta bisa juga untuk  berkompetisi secara sosial.
 
Di satu sisi jelas bahwa selfie membawa dampak positif untuk mental seseorang. Tetapi ternyata jika selfie dilakukan secara berlebihan sehingga mereka menjadi obsesif untuk selalu mengambil gambar selfie dan melakukan upload ternyata dikelompokan pada gangguan kesehatan yang disebut selfitis.
 
Selfie sendiri jika tidak dilakukan secara hati-hati bisa membuat celaka bagi pelakunya. Berbagai penelitian dan laporan menyampaikan bahwa terjadi kecelakaan yang membuat pelaku selfie mengalami luka-luka bahkan sampai menyebabkan kematian misalnya jatuh pada satu ketinggian, serangan dari hewan liar, sengatan listrik, trauma pada kegiatan olahraga karena kurang konsentrasi kondisi sekitar saat sedang melakukan selfie, kecelakaan lalu lintas baik saat sebagai pengendara maupun saat sebagai pejalan kaki.  Oleh karena itu, memang tidak dianjurkan untuk melakukan selfie ketika berada di ketinggian,  saat sedang berolah raga, sedang berada disekitar hewan liar bahkan dibeberapa negara melarang masyarakatnya melakukan selfie saat mengemudi dan  saat sedang berjalan kaki.
 
Menurut penelitinya, Dr.Janarthanan Balakrishnan,  penyakit selfitis, yaitu seseorang yang sudah mengalami kecanduan untuk melakukan selfie, membagi selfitis menjadi 3 kelompok. Pembagian ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan di India salah satu negara dengan angka kematian tertinggi yang berhubungan dengan selfie. Pada penelitian tersebut, 34 % responden mengalami selfitis borderline, 40.5% mengalami selfitis akut dan 25.5 % mengalami selfitis kronis. Perlakuan pengambilan selfie secara obsesif lebih banyak pada laki-laki mencapai 57,5 % dibandingkan pada wanita yang hanya 42.5%. Pada penelitian ini juga mendapatkan bahwa kelompok umur 16-20 tahun lebih berisiko terjadinya selfitis. Sembilan persen responden mengambil selfie lebih dari 8 kali dalam sehari dan sekitar 25 % membagi sedikitnya 3 gambar ke sosial media setiap hari.
 
Selfitis sebagai suatu penyakit juga dibagi menjadi 3 tingkat penyakit:
1. Boderline: mengambil gambar selfie sebanyak 3 kali dalam sehari tetapi tidak di posting ke sosial media
2. Akut, mengambil foto selfie sebanyak 3 kali dalam sehari dan mempostingnya seluruh fotonya ke sosial media.
3. Kronik, jika keinginan membuat foto selfie tidak terkendali dan memposting ke sosial media lebih dari 6 kali per hari.
Dengan berjalannya waktu dan semakin banyak dan seringnya orang melakukan selfie akan lebih banyak lagi peneliti untuk melakukan penelitian seputar  selfie. Selfie di tempat rekreasi atau saat ada acara  masih wajar tetapi tentu tetap harus berhati-hati dalam pengambilan gambar selfie. Selfie ternyata bisa menyebabkan ketagihan atau adiksi dan bisa menyebabkan penyakit selfitis seperti yang telah disebutkan diatas.
 
Di era berkembangnya tehnologi gadget yang semakin deras dengan kualitas gambar dan modifikasi gambar yang baik membuat fenomena selfie menjadi populer dan mendunia. Tetapi tetap kita harus menyikapi dengan bijaksana dan proporsional dalam melakukan selfie. Tetap harus fokus dan aktifitas selfie ini tidak  mengganggu aktifitas rutin kita sehari-hari.
 
Salam sehat
Ari F Syam
Praktisi klinis dan Staf pengajar FKUI/RSCM 
@dokterari
 
Ari Fahrial Syam MD,PhD, FACP
- Wakil Ketua I PB PAPDI 
-Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/ Cipto Mangunkusumo Hospital
-The Chairman of Indonesian Society of Digestive Endoscopy
Twitter/Instagram @dokterari
 
======================================================